“Kenapa Harus Aku yang Gila?”

Minggu, Juni 14, 2015 0 Comments A+ a-



Oleh Yell Saints
Pagi itu aku melihat seorang pasien baru, pindahan dari ruangan sebelah. Tampilannya lumayan rapi, parasnya tampan dan sangat beda dengan pasien-pasien lain. Usianya sekitar 24 tahun dan benar saat aku melihat buku statusnya dia kelahiran 1991. Penasaran, akupun menulsuri lebih dalam siapa sosok yang aku lihat tadi.
Di balik jeruji besi putih dia duduk dengan tenang menatap ke arah luar, pandangannya kosong, namun dia menyadari saat aku menghampiri dan menyapanya.
“Assalamualaikum, selamat pagi”
“Waalaikumsalam, ya Kak, selamat pagi” sebuah senyuman terlihat diwajahnya.
“Baru ya di sini..?”. “iya Kak, tadi malam dipindahkan dari ruang sebelah”.

Aku mulai menggali informasi tentangnya. Walaupun pada awalnya dia sedikit menutup diri, namun setelah tiga hari melakukan pendekatan, akhirnya dia mau menceritakan tentang kisahnya yang berakhir di Rumah Sakit Jiwa.
Pasien yang sedang ku hadapi ini berinisial AZ. Baru kali ini aku menemukan pasien yang benar-benar bagus komunikasinya. Biasanya banyak pasien yang sulit untuk membedakan antara halusinasi, waham dan gangguan proses pikir lainnya, sehingga saat berkomunikasipun mereka sulit memahami isi percakapan. Namun, tidak untuk pasien yang satu ini, dia cukup tenang dan terlihat seperti orang normal lainnya.

*****
Siang itu, aku mengajak AZ untuk berbincang-bincang. Sebelumnya aku sudah membuat daftar pertanyaan yang harus ditanyakan sesuai dengan format pengkajian keperawatan. Dalam diskusi singkat itu, aku bertanya tentang banyak hal mengenai dirinya.

“Sudah berapa lama di sini?”
“Sudah hampir 4 bulan”
“Kamu tau, kenapa di bawa kemari?”
“Tau Kak, karena saya sakit jiwa kata orang”
“Apa yang menyebabkan kamu dibawa kemari?”
“Saya sering mengamuk dan marah-marah, kemudian pergi berhari-hari dari rumah”
“Apa yang menyebabkan kamu marah dan sering pergi dari rumah?”
“Ada suara-suara yang membisikkan itu kepadaku dan menyuruhku melakukannya”
“Sejak kapan suara-suara itu sering mengganggumu?”

Diapun terdiam sejenak dan memalingkan wajahnya kearah lain. Aku pun mengulang pertanyaan yang sama. “Sejak kapan suara-suara itu sering mengganggumu?”. Suasanapun hening sejenak, kemudian dia berusaha menarik nafas panjang dan melihatku. “aku pemakai Kak, sejak umur 17 tahun. Suara-suara yang aku dengar ini baru sejak satu tahun terakhir, tapi kata dokter itulah penyebab yang membuat emosiku susah dikontrol dan sering mendengar suara-suara aneh”.

Raut wajahnya terlihat sedih saat menceritakan hal itu. Aku berusaha untuk menghiburnya dengan mengatakan bahwa masa depannya masih panjang, dan cobalah memulai dari awal. Sepertinya kata-kataku itu tidak berefek baginya. Kemudian dia melanjutkan ceritanya.
“Lingkungan tempat tinggalku rata-rata pemakai semua, dan teman-temanku juga pemakakai. Tapi, kenapa aku yang harus gila? Kenapa mereka tidak, dan masih bisa menikmati barang haram itu?” pasien dihadapanku ini mulai sedikit  gelisah, ekspresinya menunjukkan rasa kekesalan pada dirinya. Aku pun berusaha menenangkannya dan mengatakan kata-kata motivasi pada dirinya.
Kemudian diapun mengucapkan kata maaf kepadaku karena telah larut dalam emosinya. Emosinya selalu terganggu saat dia mulai menceritakan kisahnya yang terjebak di dunia hitam narkoba. “Apa kita cukupkan perbincangan ini?” tanyaku kepadnya, karena khawatir dia tidak mampu menahan emosinya. “Saya tidak apa-apa Kak, lanjutkan saja, apa yang mau Kakak tanyakan lagi?”
“Jenis narkoba apa yang biasa Kau gunakan?” tegasku untuk mencari informasi lebih lenjut tentang keterlibatannya di dunia hitam tersebut. “Aku biasa mengunakan sabu-sabu Kak, kadang-kadang juga ganja”. “Dari mana kamu mendapatkan barang haram tersebut?” sidikku lebih jauh. “Dibelilah Kak, dari seorang teman. Harganya bervariasi, biasanya saya sering beli ganja dan sabu-sabu di Medan. Saya seorang sopir truk kelapa sawit, jadi saat saya mengantar muatan ke Medan, saya membelinya”.
“Bagaimana perasaanmu saat memakainya?” mencoba menggali lebih dalam informasi mengenai dirinya. Hahahah.., dia tertawa kepadaku, yang sebenarnya menurutku tidak ada yang lucu. “Rasanya enak Kak, setelah menggunakannya, rasanya kepengen lagi dan lagi. Saya susah untuk menghentiknnya, walaupun sebenarnya saya tidak menginginkan barang itu lagi”. Kemudian dia menunduk, dan memuyu kedua matanya dengan tangan kanannya.
Dari pembicaraan itu, aku dapat menangkap bahwa emosinya masih labil dan mudah untuk berubah-ubah dalam seketika.

*****

            Rantai besi yang pernah melilit kaki AZ masih terlihat jelas bekasnya. Dia menarik bagian bawah celananya untuk menutupi bekas luka tersebut. Saat aku bertanya kenapa dengan kakinya, dia hanya menunduk dan merapikan celana panjangnya. Aku tau bahwa itu ialah bekas rantai, karena bekas tersebut sangat jelas terlihat.
            “Sebelum di bawa ke rumah sakit jiwa, apakah kamu pernah berobat di tempat lain?” memulai pembicaraan yang dari tadi diam beberapa menit saat aku memperhatikan luka yang ada di kakinya. Ternyata beliau menyadari itu. “Aku pernah di bawa ke pesantren untuk berobat”. Dahi ku sedikit berkerut, terheran kenapa orang yang mengalami gangguan jiwa di bawa ke pesantren.
            “Kenapa di bawa ke pesantren?” aku mengambil pulpen dan kertas untuk menulis setiap peryataan yang akan keluar dari mulutnya. Dia menghela nafas panjang, kemudian melihatku dan tersenyum. “Aku di bawa ke pesantren yang ada tempat pengobatan orang gilanya. Di sana terdapat orang-orang sepertiku, gila karena orang menganggapnya gila. Aku sempat di rantai di sana, lantaran aku sering mengamuk dan marah-marah. Tapi itu semua tidak bisa aku kendalikan. Pikiranku kacau, aku sendiri mendengar bisikan-bisikan yang tidak tau siapa yang mengatakan itu kepadaku. Aku juga sering berbicara sendiri, kata bapakku. Tapi sebenarnya aku melihat ujud lawan bicaraku itu. Namun saat aku mengatakan kepada orang lain tentang itu, tidak satupun yang mempercayainya. Mereka menyebutku gila. Aku sangat tersinggung saat mereka mengatakan aku gila, dan aku sempat membenci diriku dan tidak terima dengan keadaan ini, kenapa aku yang harus gila?”
            Aku terhanyut dalam ceritanya. Sebagai seorang perawat tidak seharusnya aku ikut bersedih dalam ceritanya, tapi harus memberi motivasi kepadanya supaya tidak larut dalam kesedihan. Ternyata AZ dirawat selama dua bulan di pesantren. Dia diobati dengan menggunakan doa-doa supaya jin yang ada di dalam tubuhnya pergi. Namun perlakuan yang diberikan di sana, memberi bekas luka di hati AZ. Sama halnya dengan bekas lilitan rantai yang terdapat di kakinya.
            Masa-masa sulitnya dilalui di pesantren. Kakinya dirantai, dan saat makan atau buang air besarpun harus tetap disitu karena keterbatasan geraknya. Sesekali dia sadar dari halusinasinya, namun dia sedih dengan keadaannya itu. Batinnya tersiksa, dia ingin didengarkan tapi mereka mengabaikannya. Memang saat sakitnya kambuh, dia sering berbicara sendiri dan berperilaku aneh, tapi sebenarnya ada saat-saatnya beliau sadar dari sakitnya. Keadaan seperti ini lah yang membuat orang dengan gangguan jiwa mengalami trauma berkepanjangan. Bukan karena penyakit kejiwaannya, tapi lebih kerena perlakuan buruk orang-orang sekitar yang menambah beban mental pada dirinya.
            Selama dua bulan AZ dirawat di pesantren, namun tidak mengalami perubahan. Hingga akhirnya dia di bawa ke Rumah Sakit Jiwa Aceh yang berada di ibu kota. Mereka harus menempuh jarak sekitar 12 jam dari Kota Cane daerah tempat tinggal AZ. Beliau menceritakan baru pertama kali dia ke Banda Aceh dan melihat bagaimana pusat kota Aceh. “Saya melihat kota Banda Aceh dari jendela mobil saat perjalanan menuju rumah sakit. Kaki dan tangan saya diikat, tapi hati saya senang karena bisa pergi ke ibu kota walupun melihatnya hanya sepintas lalu”.
            Pertanyaan tentang kenapa aku yang harus gila, terjawab saat AZ mendapatkan perawatan di rumah sakit. Beliau merasa lebih dihargai saat menjalani perawatan di sana. Sikap perawat yang ramah, yang mengajarkannya cara mengendalikan halusinasi dan emosinya, membuatnya merasa diperhatikan. “Di sini saya banyak mendaptkan perubahan, mungkin ini sebuah renungan bagi saya saat berada di rumah sakit jiwa. Mungkin kalau saya tidak gila, saya tidak akan pernah terlepas dari jeratan narkoba”.
            Kata-katanya itu membuat saya terharu, dan menyadari bahwa mereka itu, perlu perhatian dan dukungan. Sayangnya tidak semua orang mengerti dengan keadaan dan posisi mereka. Stigma masyarakat yang buruk terhadap orang dengan gangguan jiwa, menghambat kesembuhan mereka. Padahal mereka tidak menginginkan seperti itu dan ingin sembuh dari penyakit mentalnya. Akan tetapi perilaku dari orang-orang sekitarlah yang menghambat proses penyembuhannya.